Setelah setahun bailout LPS masuk ke Bank Century, hasil audit BPK akhirnya membongkar adanya ‘pat-gulipat’ dalam pengelolaannya. Kasus ini diharapkan bisa terbongkar dengan transparan demi kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional.
Gagal mengikuti kliring pada tanggal 13 November 2008 menjadi awal dari terbongkarnya berbagai penipuan di Bank Century. Walau obat penawar sudah dikucurkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) melalui dana talangan (bailout), namun hingga setahun berselang, bank yang kini berganti nama menjadi Bank Mutiara itu belum jua sembuh. Uang nasabah tetap tidak kembali, uang negara malah ikut raib. Kasus ini pun melebar ke area politik. Sementara beberapa nama petinggi negara ikut terseret-seret.
Gagal kliring itu sendiri karena Bank Century kekurangan dana di Bank Indonesia (BI) sebagai syarat mengikuti kliring. Sementara penyebab awal persoalan keuangan di bank ini menurut hasil pemeriksaan, adalah adanya surat berharga valuta asing (valas) bank ini yang bermasalah. Surat berharga yang dibeli pada 2003 yang seluruhnya (sekitar US$203,4 juta) diterbitkan oleh bank asing itu tergolong macet karena tidak memiliki rating.
Berawal dari situ, berbagai kebobrokan bank ini, termasuk dalam kegiatannya akhirnya terbongkar. Misalnya, diketahuilah bahwa dana cadangan bank ini di BI sudah di bawah saldo minimal. Di samping itu, selama ini bank ini ternyata melakukan penjualan reksadana walau tidak mempunyai izin. Bahkan, salah satu reksadana itu merupakan reksadana ‘bodong’. Alias, dibuat tanpa seizin Badan Pengawas Penanaman Modal (Bapepam). Reksadana tersebut dijual dengan nama Investasi Dana Tetap Terproteksi dan dikeluarkan oleh PT. Antaboga Delta Sekuritas.
Belakangan dikabarkan, sekitar Rp 1 triliun - 1,5 triliun uang nasabah terkena masalah seputar produk yang dikabarkan sudah dijual sejak tahun 2001 itu. Uang itu diberitakan mengalir ke rekening Robert Tantular sebagai pemilik bank dan rekannya di Antaboga.
Modus kasus yang boleh disebut pembobolan secara sistematis ini adalah dengan cara mengiming-imingi para nasabah dengan bunga tinggi di atas bunga deposito yang berlaku saat itu. Nasabah yang percaya, akhirnya memindahkan dananya dari Bank Century ke rekening Antaboga yang ada di Century juga. Setelah dana masuk ke rekening Antaboga, uang itu kemudian ditarik oleh Robert. Selain melalui cara itu, pembobolan dengan modus pinjaman juga dilakukan Robert. Yaitu, beberapa kredit dikucurkan manajemen lama ke berbagai nama yang ternyata ujungnya ke Robert juga. Untuk berbagai tindakan itu, pengadilan telah menghukum Direktur Utama PT Bank Century Tbk, Hermanus Hasan Muslim, tiga tahun penjara. Sementara Robert Tantular sebagai Direktur Utama PT Century Mega Investama dijerat hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp50 miliar. Namun, dengan dihukumnya mereka itu, tidak sendirinya menyelesaikan masalah bank ini. Karena seperti disebutkan di atas, kasus bailout Rp 6,7 triliun telah menyeret berbagai instansi dan oknum.
Kasus bailout sendiri berawal dari masalah kesulitan likuiditas dan modal Bank Century. Untuk mengatasi masalah keuangan itu, pada tanggal 15 Oktober 2008, bank central sebenarnya telah memerintahkan tiga pemegang saham mayoritas bank ini, yakni Robert Tantular, Rafat Ali Rizfi, dan Hesyam Al Waraq menandatangani letter of commitment yang isinya memuat janji ketiganya untuk membayar surat berharga yang jatuh tempo dan menambah modal bank. Selain itu, mereka juga berjanji mencari investor baru untuk menyelesaikan permasalahan bank paling lambat 31 Maret 2009. Namun, mereka tidak menepati janjinya sehingga Bank Century tidak bisa memenuhi kewajibannya pada nasabah.
Melihat kenyataan demikian, BI akhirnya memberikan fasilitas pendanaan jangka pendek pada bank ini sebesar Rp502 miliar pada 14 November 2008. Seiring dengan itu, BI juga kembali memerintahkan Robert, Hesyam dan Rafat menepati komitmennya yang dituangkan kemudian dalam letter of commitment pada 16 November 2008. Surat itu antara lain berisi komitmen untuk memindahkan surat berharga Bank Century ke bank kustodian di Indonesia, mengembalikan hasil pembayaran surat berharga yang jatuh tempo dan tidak akan menjaminkan surat berharga ke pihak lain. Tapi, letter of commitment ini juga tidak ditepati. BI pun kembali mengucurkan fasilitas pendanaan jangka pendek sebesar Rp187 miliar pada 18 November 2008.
Lantaran kondisi Bank Century makin memburuk, pada 21 November 2008 penanganan bank itu pun akhirnya diserahkan pada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Pada saat itu juga, LPS menyuntikkan dana Rp2,77 triliun agar kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) Bank Century 10 persen. Kemudian pada 5 Desember 2008, LPS kembali menyuntikkan dana Rp2,20 triliun untuk memenuhi tingkat kesehatan bank. Ketiga, pada 3 Februari 2009 LPS memberi lagi dana sebesar Rp1,15 triliun. Dan keempat, pada 21 Juli 2009 LPS kembali menyuntikkan dana sebesar Rp630 miliar. Jadi, total LPS telah menyuntikkan dana Rp6,7 triliun kepada Bank Century setelah pengelolaan bank tersebut diambil alih.
Alasan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang terdiri dari Menkeu, BI, dan LPS melakukan penyertaan modal sementara di bank ini melalui LPS, selain mengganti manajemen bank, karena BI menilai kondisi yang dialami Bank Century saat itu bisa berdampak sistemik yang bisa menimbulkan penyebaran masalah ke bank lainnya.
Dari segi legalitas, pengambilalihan pengelolaan Bank Century ini diperbolehkan sesuai Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 10/31/PBI/2008 tentang Fasilitas Pembiayaan Darurat Bagi Bank Umum. PBI ini merupakan aturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (Perppu JPSK).
Namun kasus ini menjadi ramai karena setahun setelah LPS menalangi dan memasuki manajemen Bank Century, bank ini belum juga bisa sehat. Sebaliknya, permasalahan makin melebar hingga area politik, bahkan menyeret beberapa nama pejabat.
Pada Kamis (27/8/09) misalnya, Komisi XI DPR 2004-2009 telah memanggil Menkeu Sri Mulyani, pejabat BI, dan LPS untuk dimintai keterangan terkait lonjakan suntikan modal yang diberikan LPS. Dalam rapat itu, DPR menanyakan dasar hukum dikeluarkannya dana tambahan senilai Rp5,4 triliun kepada Bank Century, karena pemerintah awalnya hanya meminta persetujuan Rp1,3 triliun. Sementara itu, anggota dewan juga curiga atas ketidakjelasan pencairan deposito nasabah-nasabah tertentu. Dimana ada perlakuan khusus terhadap nasabah tertentu, sementara nasabah lainnya harus rela berdemo, tapi itu pun tetap terabaikan.
Menjawab pertanyaan anggota dewan, Menkeu Sri Mulyani, yang terkesan ingin membela diri menjelaskan kronologis penyelamatan Bank Century. Menurutnya, pada 13 November 2008, BI yang ketika itu masih dipimpin oleh Boediono mengundang dirinya untuk rapat konsultasi. Rapat itu berlanjut pada 16 November 2008, khusus membicarakan persoalan Bank Century. Kemudian 20 November 2008, BI menyampaikan surat bernomor 10/232/GBI/Rahasia tentang Penetapan Status Bank Gagal Bank Century dan penanganan tindak lanjutnya kepadanya. Di dalam surat itu, BI mengusulkan langkah penyelamatan Bank Century oleh LPS sesuai dengan Pasal 18 Perpu Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Dengan dasar itulah kemudian pada 21 November 2008, rapat KSSK menetapkan Bank Century sebagai bank gagal dan menyerahkannya ke LPS. Hal itu diputuskan karena BI menyatakan, jika tidak ditangani dengan benar maka akan berdampak sistemik.
Sementara itu, Kepala Eksekutif LPS Firdaus Djaelani mengatakan, lembaganya terpaksa menyertakan modal sebesar Rp6,7 triliun karena sebagian deposan-deposan besar yang telah jatuh tempo tidak lagi bertahan di Bank Century. Dia mengakui, 60 persen dari total suntikan modal kepada bank tersebut digunakan untuk membayar deposan yang telah jatuh tempo.
Berbagai penjelasan pemerintah saat itu tidak begitu saja diterima oleh DPR. Dewan pun kemudian meminta BPK melakukan audit investigasi atas penyertaan modal pemerintah melalui LPS ke Bank Century yang membengkak menjadi Rp6,7 triliun. belakangan, sesuai hasil audit BPK yang diserahkan ke DPR tertanggal 23 Nov 2009 menunjukkan adanya paling tidak lima bagian dugaan pelanggaran di dalam kasus Bank Century yang dilakukan oleh pemilik lama, BI, hingga KKSK.
Mulai dari proses merger tiga bank menjadi Bank Century, tidak tegasnya BI terhadap pelanggaran Bank Century selama tahun 2005-2008, hingga pengucuran dana bailout.
Melihat tanda-tanda tidak adanya perbaikan di bank ini, pengucuran dana triliunan itu pun semakin marak dipertanyakan publik. Apalagi, sebenarnya tidak ada landasan hukum yang sah bagi LPS untuk melanjutkan pengucuran dana setelah Perpu JPSK ditolak DPR pada tanggal 18 Desember 2008.
Untuk mendorong penyelesaian kasus ini, dari anggota DPR bahkan sempat terdengar usulan agar kewenangan Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum yang dibentuk Presiden untuk menyelesaikan kasus Bibit dan Chandra (Tim 8) diperluas, termasuk untuk masalah Century, karena awal kisruh di KPK dengan Polri juga disebutkan berawal dari kasus Century terkait pencairan deposito valuta asing sebesar AS$ 18 juta milik Boedi Sampoerna yang menyeret nama Kabareskrim Susno Djuaji.
Di DPR sendiri, diprakarsai oleh Fraksi PDIP muncul usulan menggunaan hak angket untuk masalah ini. Setelah hasil audit BPK keluar, angket yang telah resmi diusulkan kepada pimpinan DPR itu belakangan didukung oleh semua fraksi, setelah sebelumnya Fraksi Partai Demokrat tidak mengambil sikap. Bahkan, sempat empat Wakil Ketua DPR telah menandatangani usulan tersebut, namun Ketua DPR Marzuki Alie yang dari Partai Demokrat tidak bersedia membubuhkan tandatangan.
Sementara itu, Wakil Presiden Boediono sendiri pun sebelumnya telah menyatakan kesediaannya memberikan keterangan mengenai kasus ini. Menyimak apa yang terjadi dalam kasus ini, wajar jika timbul banyak pertanyaan pada pemerintah dan BI sebagai pemegang otoritas moneter. Antara lain, bagaimana bisa sampai terjadi sebuah bank menjual reksadana tanpa mempunyai izin sebagai Agen Penjual Reksadana (APERD)? Bahkan, bagaimana sebuah reksadana ‘bodong’ bisa lolos dari pengawasan Bapepam? Bagaimana pertanggungjawaban BI sebagai pengatur dan pengawas lembaga perbankan. Kenapa pula pemerintah tetap ngotot menggunakan Perppu yang sudah ditolak oleh DPR? Dan pertanyaan terbesar adalah, apakah kasus ini hanya terjadi pada Bank Century, atau justru merupakan cerminan perbankan nasional?
Berbagai pertanyaan itu hendaknya bisa terjawab dengan keluarnya hasil audit BPK. Pemerintah pun diharapkan jujur membuka masalah ini agar kepercayaan publik terhadap perbankan nasional tidak terganggu. MS,RIE (Berita Indonesia 72)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar